Perenjak
Jawa juga dikenal sejenis burung kicauan dari suku Cisticolidae (pada banyak
buku masih dimasukkan ke dalam suku Sylviidae). Dalam bahasa Inggris burung ini
dikenal sebagai Bar-Winged Prinia, merujuk pada dua garis putih pada setiap
sayapnya. Nama ilmiahnya adalah Prinia familiaris Horsfield.
Ciri-ciri:
Burung kecil ramping, dengan panjang total
(diukur dari ujung paruh hingga ujung ekor) sekitar 10 cm. Hampir seluruh sisi
atas badan berwarna coklat hijau-zaitun. Tenggorokan dan dada putih, perut dan
pantat kekuningan. Sisi dada dan paha keabu-abuan. Ciri khas: sayap dengan dua
garis putih, serta ekor panjang dengan ujung berwarna hitam dan putih. Paruh
panjang runcing, sebelah atas berwarna kehitaman dan sebelah bawah kekuningan.
Kaki langsing dan rapuh berwarna coklat kemerahan atau merah jambu.
Jenis
Kelamin:
Jantan
bila dibedakan dari betina dengan ukuran tubuhnya yang lebih besar dan aktif
berkicau. Ekor lebih panjang dan warna sayap yang lebih gelap .
Kebiasaan
& Penyebaran:
Burung
yang ramai dan lincah, yang sering ditemui di tempat terbuka atau daerah
bersemak di taman, pekarangan, tepi sawah, hutan sekunder, hingga ke hutan
bakau. Juga kerap teramati di perkebunan teh. Dua atau tiga ekor, atau lebih,
kerap terlihat berkejaran sementara mencari makanan di antara semak-semak,
sambil berbunyi-bunyi keras cwuit-cwuit-cwuit.. ciblek-ciblek-ciblek-ciblek.. !
Ekor yang tipis digerakkan ke atas saat berkicau.
Mencari
mangsanya yang berupa aneka serangga dan ulat, perenjak jawa berburu mulai dari
permukaan tanah hingga tajuk pepohonan. Burung ini membuat sarangnya di
rerumputan atau semak-semak hingga ketinggian sekitar 1,5 m di atas tanah.
Sarang berbentuk bola kecil dianyam dari rerumputan dan serat tumbuhan.
Perenjak
Jawa adalah burung endemik (menyebar terbatas) di wilayah Sumatra, Jawa dan
Bali. Di Sumatra tidak jarang sampai ketinggian 900 m dpl, sedangkan di Jawa
dan Bali umum sampai ketinggian 1.500 m dpl
Tingkat
Kehidupan:
Sebelum
tahun 1990-an, burung ini boleh dibilang tidak memiliki nilai ekonomi, sehingga
banyak dibiarkan bebas dan meliar seperti halnya burung gereja dan burung
pipit. Sifatnya yang mudah beradaptasi dan tidak takut pada manusia menyebabkan
populasi burung ini cukup tinggi pada wilayah-wilayah yang sesuai.
Setelah
tahun-tahun itu, burung ini mulai banyak diburu orang untuk diperdagangkan
terutama di Jawa. Apalagi burung ini mudah dijumpai di wilayah perkebunan dan
memiliki keistimewaan mudah jinak. Sifat jinaknya membuat ia mudah ditangkap
dengan cara dipikat yaitu memakai bantuan cermin di dalam sangkar. Burung yang
tertarik dengan bayangannya sendiri akan terjebak di dalam sangkar.
Cara
lain adalah dengan memasang jerat atau rajut di sekitar sarangnya, atau dengan
perangkap getah (pulut) pada tempat-tempat tidurnya di waktu malam. Para
penangkap burung yang terampil, bahkan, kerap hanya bermodalkan senter,
kehati-hatian dan kecepatan tangan menangkap burung yang tidur di malam hari.
Sayang
sekali burung ini mudah stres dan mati dalam pemeliharaan, terutama apabila
yang ditangkap adalah burung dewasa. Belum lagi jika pemeliharanya tidak
berpengalaman. Namun ini agaknya tidak menyurutkan minat para penangkap burung
untuk terus memburunya.
Sampai sekarang, burung ini belum berhasil
dibiakkan dalam tangkaran. Dan para penggemar burung masih bergantung pada
tangkapan dari alam.Eksploitasi yang berlebihan ini segera terlihat akibatnya.
Di wilayah-wilayah tertentu seperti di pinggiran Jakarta dan Bogor, di mana
burung ini melimpah sebelum tahun ‘90an, kini seolah ‘kehabisan stok’.
Perenjak
Jawa semakin jarang terlihat di taman-taman, dan hadir terbatas di
tempat-tempat tertentu yang masih dekat hutan.Dalam pemeliharaan biasanya
burung ini sering diberi makanan berupa kroto (tempayak dan anak semut
rangrang), ulat hongkong, serta pelet (voer).
No comments:
Post a Comment